Oleh: Sinang Bulawan
Saya hari ini sengaja tidak bawa mobil, berhubung selesai jam kantor akan rapat organisasi sampai malam di daerah Rasuna Said. Di gedung Sentra Mulia, didepan kedutaan Australia. Kalau sudah lewat jam lima sore merupakan biangnya macet karena seluruh mobil pribadi akan lari ke situ berhubung menghindari three in one, baik di jalan Thamrin maupun Gatot Subroto.
Orangnya masih muda, memakai pakaian seragam sopir berwarna putih degan strip merah memanjang di bahu baju. Pembawaannya juga kalem, dan cara mengemudikan mobil juga sudah terlatih. Sopir taxi Primajasa.
Jarang memang taxi ini, yang sering banyak dijalan taxi Blue Bird. Dan sayapun selama ini mengenal Primajasa hanya sebagai bus antarkota. Tapi sudahlah, yang penting sekarang saya duduk enak, ACnya dingin walaupun jalan macet.
Enak juga kalau begini terus-terusan disopirin orang. Dari pada nyopir sendiri. Capek, stress dan jengkel dengan situasi jalan di Jakarta pindah ke sopir. Saya jadi bisa tidur-tiduran sambil lihat gedung-gedung atau ngerumpi dengan temen melalui HP.
"Sudah lama naxi mas?". |
"Baru lima tahun". |
"Baru lima tahun?" |
"Ya pak, emangnya kenapa?" |
"Berarti masih mau terus jadi supir taxi?" |
"Ya gitulah pak, susah cari kerja lain. Di kampung juga ndak ada pekerjaan yang menarik pak. Paling motong padi kalau lagi panen. Itupun cuma seminggu dua minggu. Bayarannya murah. Ndak cukup untuk makan keluarga. Sudah itu nganggur lagi". |
"Memang mas tamatan apa?". |
"SMA pak". |
"Nggak ada dulu niatan kuliah?". |
"Tamat SMA aja syukur pak. Habis orang tua cuma buruh petani". |
"Sudah berkeluarga mas?". |
"Sudah, anak dua. Di Semarang. Isteri jaga anak saja di rumah". |
"Lho pulangnya berapa hari sekali?" |
"Ndak tentu pak, kadang sebulan sekali. Ya kadang kalau ndak banyak uang cuma dua bulan sekali. Uang kiriman saya titipin temen yang pulang kampung. Sama-sama sopir juga". |
"Nggak kangen kalau sampe dua bulan?". |
"Siapa yang ndak kangen pak. Ya kangen tho". |
"Ngirim duitnya berapa mas?". |
"Rata-rata sih lima ratus rebu". |
"Cukup itu mas?". |
"Ya dicukup-cukupin pak. Isteri saya dikampung ndak macem-macem". |
"Setoran taxi ini memangnya berapa mas?" |
"Sehari dua ratus ribu, ndak termasuk bensin. Kalau sama bensin ya nambah sekitar 120 rebu lagi". |
"Kalau gitu tiap hari pulang bawa banyak uang mas?". |
"Ndak juga. Kalau lima puluh ribu sih dapet. Tapi hari ini dari pagi sampe sekarang baru ngumpul 140 rebu. Mulai pagi jam tujuh. Ntah nanti pulang jam dua belas malem, bisa ndak ngumpul setoran. Kalau ndak ya potong setoran dulu dua puluh rebu. Buat makan. Besok kalau setoran lebih baru dilunasi". |
"Lho kalau gitu buat apa nyopir. Kalau nggak dapat setoran pulang nggak bawa duit. Mending di rumah, nggak usah kerja, nggak capek. Kan sama nggak dapat duit". |
"Tapi kalau di rumah, makannya dari mana pak?. Kalau naxi kan kita masih ada harapan besok dapet duit. Kalau di rumah ya dimarahin bini". |
"Bener juga, ya". |
"Iya pak. Kita kan laki-laki, kepala keluarga. Harus kerja. Susah dan seneng kita harus lakonin. Saya sih yakin saja pak sama yang Di Atas. Buktinya lima tahun, saya masih bisa ngirim duit tiap bulan". |
"Oh ya Mas.. siapa namanya?". |
"Mursidi pak". |
Benar juga, sebagai laki-laki dan sebagai kepala keluarga memang kita diwajibkan untuk bekerja. Saya jadi ingat, sewaktu ijab kabul dulu mengucapkan sighat ta'lik yang salah satunya berbunyi bila sewaktu-waktu saya tidak memberi nafkah wajib kepada isteri tiga bulan lamanya maka isteri saya berhak menuntut ke pengadilan agama.
"Terus saja pak. Nanti di gapura itu kita masuk". |
Akhirnya saya sampai di rumah. Argo menunjukkan Rp 93.000,-. |
"Nih Mas, sisanya ambil saja untuk nambah-nambah lauk makan malam"; saya sodorkan lembaran seratus ribu rupiah. |
"Terima kasih pak, mudah-mudahan diganti rejeki yang lebih banyak". |
"Amin, amin". |
Isteri saya membukakan pintu. Dia Insinyur, sama dengan saya. Tetapi sejak tamat sampai sekarang, sudah 22 tahun tidak bekerja. Dia jaga anak saja di rumah. Saya tidak melarangnya untuk berkerja. Hanya dia sendiri yang inginnya di rumah. Saya sendiri yang selama ini bekerja. Dan alhamdulillah tercukupi.
"Kita kan laki-laki, kepala keluarga. Harus bekerja".
Terima kasih Pak Mursidi. Mudah-mudahan engkau tetap istiqomah dengan pendirianmu.
No comments:
Post a Comment